Regulasi new normal dikeluarkan pemerintah dengan harapan setiap masyarakat dapat hidup normal seperti biasa, meski dalam kondisi pandemic yang masih menginfeksi 1000 orang setiap harinya di Indonesia. Pandemik Covid-19 mulai menyebar pada awal bulan Maret 2020, pada saat itu pula, seluruh perkantoran dan kegiatan belajar mengajar di sekolah dan universitas tutup. Toko yang mulai kehilangan pelanggan mulai bangkrut dan harus ikut menutup gerainya.
Pariwisata dan budaya yang selama ini menjadi alasan setiap turis lokal maupun luar harus dibatasi dikarenakan adanya penyebaran virus ini. Semua kegiatan yang dilakukan diluar rumah, terpaksa harus dialihkan untuk dilakukan didalam rumah dengan memanfaatkan fasilitas media teknologi komunikasi, seperti gawai, laptop, computer dengan aplikasi video cofference maupun pesan teks dan suara, seperti google meet, zoom, whatsapp, dan Instagram.
Peralihan ini pada awalnya disambut baik oleh masyarakat, sebab mereka tidak perlu jauh-jauh keluar rumah, menghemat biaya transportasi, dan mengoptimalkan waktu karena jarak tempuh yang jauh dapat dilalui dengan cepat oleh gawai. Namun berjarak hingga 4 bulan, pada saat ini, masyarakat mulai merasakan kebosanan dikarenakan rutinitas yang sama dan tempat yang sama lagi, mereka cenderung bosan dengan sesuatu yang stagnan dan biaya operator telepon yang mahal untuk setiap kirim suara, kirim teks, maupun video.
Regulasi new normal yang seharusnya bisa menerapkan kebiasaan hidup baik masyarakat direspon tak peduli oleh beberapa bagian masyarakat. Mereka beranggapan new normal, seakan-akan hanyalah kata normal yang menandakan bahwa semua orang boleh bebas kembali tanpa memperhatikan protocol Kesehatan yang ada.
Padahal sebenarnya, tujuan awal new normal diadakan adalah mengembalikan roda ekonomi yang sempat menurun dikarenakan pembatasan jarak, seperti peraturan di Jakarta, Surabaya, dan beberapa kota lainnya yang ditetapkan sebagai zona merah melakukan PSBB, sehingga pembatasan tersebut seakan-akan hanya membatasi distributor ke dalam wilayah saja, padahal jumlah konsumen tentu saja tidak dari satu kota tersebut.
Larangan dan himbauan yang diterapkan pemerintah sering kali disalah artikan oleh masyarakat. Jika larangan menurut istilah adalah perintah yang harus dilakukan, sering kali diabaikan dengan alasan penting ataupun berasal dari satu daerah yang sama, padahal adanya larangan seperti menghindari pertemuan dengan khalayak ramai dibuat agar membatasi kontak antar personal.
Sebab virus ini menurut pakar kesehatan dapat menular meski hanya lewat hembusan angin. Adapun himbauan yang seharusnya dipraktekkan, sering kali dikira perintah yang ditujukan sewenang-wenang dari pemerintah.
Masih banyak yang mengira bahwa melanggar protocol hanya soal denda apabila tidak patuh, padahal tujuannya tentu saja untuk mengurangi resiko, seperti penggunaan masker, social distancing, dan mencuci tangan. Bukankah larangan maupun himbauan juga bentuk dari aturan? Mengapa masih banyak yang menganggap bahwa aturan ada hanya untuk dibuat-buat?
Pertimbangan adanya peraturan, larangan, dan himbauan tentu saja dibentuk untuk menyelaraskan adanya regulasi agar tepat sasaran. Harapan untuk mencegah kemungkinan terberuk terus diupayakan agar tidak menimbulkan keresahan dan kesulitan yang berlebih. Keterlibatan kritik diharapkan selalu diikuti dengan solusi agar kita tahu apa masalahnya dan bagaimana penyelesaiannya. Semua bentuk pendapat, dukungan, opini, gerakan, ataupun wujud lainnya merupakan macam-macam upaya dalam bentuk dorongan agar masyarakat di Indonesia tetap dapat melanjutkan hidupnya dengan tidak mati begitu saja tanpa perjuangan. Kita memang tidak tau apa rencana yang diatas, namun jangan pernah melupakan bahwa setiap masalah pasti ada penyebabnya, tidak mungkin terjadi begitu saja, dan tugas manusia adalah menjaga bumi agar tidak rusak.
Oleh : Kalya Azalia Deann, mahasiswa S1-Informatika FMIPA UNS